Well, aku nggak mau nambahin berita buruk. Aku cuma mau cerita soal kenyataan. Tentang negeri besar yang dulu berjuluk negeri agraris, negeri maritim, negeri yang dilewati garis khatulistiwa. Negeri ini dulunya terkenal sebagai paru-paru dunia. Kaya dengan tambang di perut bumi. Konon negeri ini dulunya adalah tempat tinggal bangsa Lemuria yang berperadaban lebih maju dari bangsa Atlantis. Negeri ini punya garis pantai terpanjang di dunia, deretan gunung api yang membentuk cincin api yang membuatnya bertanah subur. Lalu, mengapa negara ini sekarang jadi tidak ramah lingkungan?
Yap, data Environmental Performance Index (EPI) tahun 2024 yang disusun oleh Yale University menempatkan Indonesia sebagai 20 besar negara paling tidak ramah lingkungan. Hasil ini keluar setelah mereka melakukan survey dan penilaian dari 40 indikator terhadap 180 negara di dunia. Parahnya Indonesia rangking 164 dari 180 negara itu.
Beberapa riset menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat yang kemudian akan mempercepat konsumsi masyarakat dan memperparah ekstraksi sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi dipandang baik dari segi bisnis, namun belum tentu berdampak baik pada masyarakat secara luas terutama masyarakat marjinal apabila tidak dibarengi dengan distribusi pendapatan yang merata. Dari segi lingkungan, lecutan pertumbuhan ekonomi seperti buah simalakama. Menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan penjagaan ekologis bukan hal yang mudah. Butuh langkah bijak dan kerjasama antar stakeholder.
Sebuah tulisan di website Universitas Yale menyoroti kerusakan lingkungan di Indonesia. Tulisan tersebut menyoroti aktivitas tambang Indonesia. Indonesia memproduksi separuh kebutuhan nikel dunia terutama nikel untuk diolah menjadi baterai untuk kendaraan listrik. Kebutuhan konsumsi nikel dunia akan terus meningkat hingga dua kali lipat pada tahun 2040. Nikel memang dapat dikonversi menjadi baterai yang merupakan energi rendah emisi. Tetapi disisi lain hal ini menjadi sebuah paradoks. Nikel tampaknya memang mengurangi emisi negeri lain, menghijaukan negeri lain namun jadi malapetaka di Indonesia. Sebab nikel ditambang dari pertambangan-pertambangan ditengah hutan hujan tropis dan dimurnikan dengan energi batubara.
Artikel tersebut juga menyebut bahwa sulawesi misalnya, sepertiga hutannya telah jadi konsesi tambang nikel. Data lain dalam artikel menyebut bahwa 3/4 dari 329 konsesi gambang nikel Indonesia berada di area hutan. Bukan cuma itu, deforestasi secara ugal-uaglan dilakukan di berbagai tempat di sumatera, kalimantan, hingga merauke dengan alasan pembangunan food estate. Organisasi non profit Forest Watch Indonesia (FWI) mengklaim pembukaan lahan sebesar 2 juta hektar di merauke berpotensi menyebabkan kerugian karbon sebesar 47,73Triliun. Secara general, laju deforestasi di Indonesia secara tahunan menjadi yang tertinggi ke-4 di dunia.
Parahnya, studi di universitas yale juga menyebut bahwa Indonesia adalah satu-satunya dari 10 negara penghasil gas rumah kaca terbanyak di dunia yang masih terus meningkatkan ketergantungannya pada batu bara untuk menghasilkan listrik.
Kondisi-kondisi itu sebenernya tidak akan terjadi jika kita mematuhi Firman Allah dalam Al Qur'an.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 56)
Taruhlah kita nggak punya otak dan nggal punya akal, cukup manut aja sama ayat itu, kita harusnya nggak akan berbuat kerusakan di bumi. Apalagi kita punya akal dan otak. Okelah nggak semua orang Indonesia tau Al Qur'an, tapi kan bisa dipikir secara logika dong kalo kerusakan lingkungan itu dampaknya juga akan ditanggung oleh kita sendiri bahkan anak cucu kita, Nauzubillah.
Jika kita rela merusak lingkungan demi pundi rupiah, lalu akan diapakan setumpuk hartadan uang yang kita dapatkan jika kelak tak ada oksigen lagi di bumi, jika tak ada pangan yang bisa kita konsumsi, tak ada lagi binatang yang jadi teman, untuk apa?
Nah terus apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk menyelamatkan lingkungannya?
Sebenarnya pemerintah punya banyak orang cerdas yang ngerti apa yang harus dilakukan. Kita punya kementrian yang mengurus ESDM dan menteri kehutanan yang seharusnya bisa bersinergi mengurus pertambangan. Pemerintah tidak seharusnya bekerja parsial untuk menyelesaikan masalah. Kalau bisa malah pemerintahan presiden baru ini merumuskan satu value dasar yang menjadi tujuan bernegara, sehingga permasalahan dapat ditangani secara komperhensif.
Salah satu solusi lain yang bisa dipakai adalah perubahan pola konsumsi masyarakat. Sayangnya, ini bukan solusi instan yang dapat dilakukan sehari dua hari. Perubahan pola konsumsi masyarakat membutuhkan kerjasama dari berbagai sektor pemerintahan dan masyarakat itu sendiri misalnya bidang pendidikan, perdagangan, kesehatan, dsb.
Nah, terakhir semua itu bakal sia-sia kalo nggak ada kemauan dari pemerintah sih wkwkwk.
Referensi:
https://e360.yale.edu/features/prabowo-subianto-indonesia-nickel-mining-rainforest
https://fwi.or.id/indonesia-perparah-krisis-iklim-akibat-food-estate/#:~:text=Food%20Estate%20menjadi%20driver%20of,bahwa%20Papua%20bukanlah%20tanah%20kosong.
Pirmana V, Alisjahbana AS, Yusuf AA, Hoekstra R and Tukker A (2021) Environmental Cost in Indonesia Spillover Effect Between Consumption and Production. Front. Sustain. 2:720177. doi: 10.3389/frsus.2021.720177