Senin, 18 September 2017

Just Write It Down, Babe!

Menulis itu hal yang gampang-gampang susah. Gampang buat yang sudah terbiasa, dan sulit untuk yang jarang melakukannya. Ada yang sulit sekali menulis, bahkan sulit menuliskan perasaan dan hidupnya sendiri. Nulis caption di sosmed aja kadang mikir, harud browsing dulu. Tapi buat yang sudah terbiasa bahkan punya puluhan buku yang sudah terbit, ratusan artikel dan opini.

Saya bukan kedua tipe tersebut, artinya kebiasa banget nulis juga enggak, tapi susah banget nulis juga enggak. Ada orang yang tanya, kenapa saya sering nulis meskipun ga bagus, bahasanya amburadul, kalimat antar paragraf melompat-lompat, ga banyak yang baca pula. 

Buat saya menulis dan menagis itu sama. Mereka sama-sama seperti obat penenang dan pundak untuk bersandar dikala menghadapi kesulitan. Saya ga peduli seberantakan apa, segila apa, dan dibaca atau tidak. Menulis itu melegakan. 

Lebih baik kita tulis dulu apa yang ada daripada mutug gara-gara kita ga bisa mengungkapkannya dalam bahasa yang bagus. At least we start a step forward. Puluhan buku, artikel, dan opini ga akan terwujud tanpa ada first step. Mereka yang udah sampai tahap hebat seperti itu bukan tanpa proses dan luka. Jangan dibandingin sama kita yang nulis satu halaman aja udah nyerah. Nulis skripsi lima bab udah mengeluh sana-sini, direvisi malah nyalahin dosen. Gimana mau nulis buku, artikel, dan opini? Nulis sms ke operator aja sana. 

Menulislah, setidaknya buatlah satu jejak di dunia. Meski manusia bakal mati, tapi karya yang dihasilkannya akan abadi. Bahasa yang amburadul, kalimat antar paragraf yang melompat-lompat, someday it'll be solved. Practice makes perfect. 

Menulislah jika kamu ingin belajar lebih jauh tentang dunia, karena setidaknya kamu harus membaca untuk bisa menulis. Karena setidaknya kamu harus pergi melihat sekitar untuk bisa menulis. Karena setidaknya kamu harus bertanya pada orang lain untuk bisa menulis. 

Karya tulis adalah cerminan dirimu. How smart you are, it could be seen from what you write. 


Just write it down, babe!

Sabtu, 16 September 2017

Turbulensi Zaman

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU No 20 Th 2003 ttg Sisdiknas)

UU tersebut sama sekali tidak menyebutkan bahwa pendidikan harus melalui bangku sekolah formal. Setiap orang bisa mendapatkan pendidikan dari pengalaman hidupnya sehari-hari asalkan memenuhi unsur: 
-usaha sadar dan terencana
-mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
-aktif mengembangkan potensi dirinya

Zaman terus melaju dan bergerak dinamis, bahkan turbulens. Kini pendidikan formal bukan lagi hal yang utama. Banyak start up, bahkan perusahaan sekelas Google dan EY berani membuka lowongan pekerjaan untuk siapapun yang memiliki kompetensi tanpa memandang ijazah formal yang dimiliki. Kondisi ini beda jauh sama apa yang saya alami 7 tahun lalu pas daftar ke SMK swasta. 

Beberapa orang tua dan wali murid bahkan guru SMK tersebut tercengang melihat nilai saya sambil tanya, "kenapa ngga ke SMK negeri aja?" 
waktu itu saya nyengir doang. 

Buat saya, pepatah emas mau ditaruh di lumpur sekalipun tetap akan jadi emas itu berlaku. 

Dimanapun kita belajar kalo kita udah suka dan mau totalitas terhadap suatu bidang, jalan buat jadi expert itu pasti terbuka disana sini kok. Tapi kalo namanya udah kepaksa, mau ditaruh di tempat sebagus apapun tetep jelek. Eek kerbau mau ditaruh di guci berlian semahal apapun tetep jelek dan ngga wangun. 

Dunia yang saya impikan adalah kita bisa jadi apapun yang kita mau. Kalo ga bisa ngerjain matematika, tapi pinter renang, biarin aja jadi atlet renang. Tapi di dunia yang saya hadapi dulu, selembar kertas bernama ijazah sangat bertaji untuk mencari nafkah. Bahkan kalo ijazahnya ngga dari perguruan terakreditasi kadang ngga bisa dipakai. 

Saya kadang kasian liat ada orang yang harus dicap bodoh karena tak bisa matematika, padahal di usia belasan tahun, memorinya mampu menghafal 15 juz Al Qur'an. Saya trenyuh melihat anak SD yang tak bisa matematika sibuk menelan makian dan emosi orang tuanya, padahal dia sangat pintar bermain sepak bola. 

Dulu saya sedih dan ingin berteriak "Why?" Mengapa ukuran pintar dan tidaknya kita ditentukan oleh ijazah, oleh seberapa tinggi tingkat pendidikan yang kita tempuh. Seberapa banyak rumus yang kita hafal. 

But the world turns. 

Di zaman mainan anak kecil udah youtube, pendidikan formal bukan lagi jadi satu-satunya penentu arah hidup buat orang tua yang udah open  minded. Tinggal tentukan minat bakatnya kemudian dikembangkan.

Well, Welcome .. selamat datang di zaman yang turbulens ^^

Sabtu, 09 September 2017

Excuses

Everyone makes mistakes, the only thing made it's different is the reason and excuses. Kadang alasan membuat seseorang tak bersalah. Tapi sebetulnya itu alasan atau pembenaran?

Saya inget banget beberapa hal berikut yang bikin saya sekarang suka mikir sebelum ngeluarin alasan. Saya takut jangan-jangan itu cuma usaha saya aja buat membenarkan kesalahan yang saya perbuat. Kalo orang sukanya cari pembenaran, bisa jadi dia ngga pernah evaluasi dan berbenah. Alesaaan terus.. and I don't wanna be like that.

1. Kata-kata pakde saya waktu minta diambilkan tutup gelas untuk cangkir kopinya. Saya udah cari-cari tutup gelas kesana kemari tapi ngga ada. Walhasil sambil nyengir saya bilang, "Sorry pakde, ngga ada tutup gelasnya. Dulu punya banyak sih. Tapi suka keselip-selep di rak. Pada jatuh terus kebuang, abis deh"
Pakde saya bilang, " oh berarti tutup gelasnya ga ada? Yaudah gapapa, gausah banyak alasan. Ga ada yaa bilang aja ga ada. Ga usah belibet."

2. Pas waktu kuliah pendidikan karakter, Saya diajar Dosen yang pernah tinggal di Taiwan dan Jepang. Beliau bilang, "If you want to be a part of International Community, Please be on time. No excuses."
Beliau menyoroti betapa masyarakat di Jepang sana sangat menghargai waktu dan orang lain sehingga tidak mau datang terlambat meskipun hujan badai sekalipun.
Bandingin aja sama mahasiswa sini yang kalo telat alesannya macem-macem, mulai dari bangun kesiangan, terlalu santai, jam nya mati, ga ada yang bangunin, macet, dan bahkan hujan. Hujan itu kan cuma hujan air. Bisa dihadapi pake mantol, payung, atau naik mobil. Dijaman sekarang kalo hujan dijadikan alasan kayaknya terlalu naif. Sekadar pembenaran yes?
Trus kalo alasan ban motor bocor gimana? For me it's accepted lah yaa, namanya juga musibah.

3. Waktu saya ketemu sama mapres UGM di suatu seminar, beliau bilang gini, "Orang lain itu ga mau tau apa yang ada di proses, mereka cuma ngejudge kita dari hasil." Setelah direnung bener juga kata-kata beliau. Orang lain ga mau tau apa alasan yang ada dibalik sebuah kesalahan. They just want everything runs as their wishes.

Kesimpulannya, daripada kita muter-muter sibuk cari alasan, lebih baik minta maaf aja deh. Toh juga orang lain ngga mau ngerti prosesnya. Jarang banget kan orang yang menghargai proses daripada sekedar ngejudge hasil.

Ini tulisan buat mengisi waktu selo. Kalo ada hikmahnya yaa monggo diambil, kalo engga yaa dianggep angin lalu gapapa :D

Jumat, 08 September 2017

dari: Rakyat Tangguh yang Tak Suka Minta Subsidi

Sejak Rezim yang sekarang berkuasa, pencabutan subsidi terus berlangsung di berbagai bidang. Rezim ini bilang ke kita kalo uang subsidi dapat dialihkan ke pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan apalah untuk membuat kehidupan rakyat jadi lebih baik. Rakyat yang mana pak?

Kemarin, gas 3 kg yang ada di rumah habis. Ibu saya cari kemana-mana ternyata warung juga mengeluh kalau sekarang gas 3 kg susah. Tadi pagi, om saya yang ada di kulonprogo 25 km jauhnya dari rumah saya pun minta tolong dicarikan gas 3 kg karena dia udah nyari kemana-mana tetep ga dapet.

yang saya heran, Indonesia itu negeri dengan kekayaan yang luar biasa banyak. Emas berlimpah, cadangan minyak di perut bumi, kayu ditancapkan pun tumbuh jadi pohon, garis pantai terpanjang di dunia, tapi rakyat masih kesulitan cari gas, air bersih, bahkan harga garam naik dan impor pula.

Bukannya kami ga mampu membeli dan ga punya uang. Tapi mana peran negara untuk menyejahterakan rakyatnya? Jangan semena-mena meminta kami untuk menjadi rakyat tangguh yang tak suka minta subsidi. Subsidi memang kewajiban negara sebagai salah satu cara untuk mengendalikan harga, pasokan sumberdaya, dan masyarakat.

Saya suka ngenes juga kalo mengingat semua itu. Kadang abis pulang kerja lewat jalan pasar sapi ambarketawang ke selatan di dusun watulangkah yang 'gronjal-gronjal' luar biasa saya sedih sendiri. Kita memang sudah 72 tahun merdeka kalo yang dimaksud hanya merdeka dari kongkangan senjata. Tapi secara ekonomi nol besar.

Well, mungkin ini yang dimaksud sama ayat, Dan jika penduduk negeri beriman dan bertaqwa ( kepada Allah sesungguhnya Kami ( Allah ) bukakan kepada mereka ( pintu-pintu ) berkah dari langit dan bumi; Tetapi mereka mendustakan ( ayat-ayat Kami ), maka Kaminsiksa mereka lantaran apa yang telah mereka kerjahan.” ( Qs. Al-A’raf: 96 )

 Semangat pak presiden. Jangan jadi boneka asing yap. Saya lelah mendengar pencabutan subsidi dan sederet rencana privatisasi BUMN. Saya juga muak Indonesia harus perpanjang kontrak sama freeport. Divestasi 51% itu pembodohan pak.

Minggu, 03 September 2017

Apakah Karena Mereka Muslim?

Rohingya berduka
Tak hanya rohingya, seharusnya umat muslim diseluruh dunia juga merasa luka.
di tengah gegap gempita takbir hari  raya idul adha, mereka nelangsa.. harus menghadapi maut, melarikan diri ke negara tetangga manapun untuk menyelamatkan jiwa.

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, dekat dengan mereka, apa yang telah dilakukan?
Berkoordinasi dengan PBB, lalu? Mengutuk? Menyesalkan? Berharap pemerintah Myanmar melakukan perhatian khusus? Hanya itukah yang dilakukan pemerintah negara ini?

Kira-kira berani ngga pemerintah menggambil sikap keras? Mengusir dubes Myanmar dari Indonesia, adakan KTT Luar Biasa ASEAN dengan agenda mengusir Myanmar dari ASEAN?
Saya sedikit rindu dengan sikap Soekarno. Dulu, saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, Beliau dengan gagah  dan elegan keluar dari PBB. Harga dirinya sebagai pemimpin tinggi sekali.

Apakah karena korbannya adalah muslim, maka negara-negara sekitar diam saja? Bahkan Amerika yang biasa ikut campur pun kali ini tak mengambil sikap apapun. Kemudian apa guna OKI kalau tak menyelesaikan apapun. Hanya Turki  yang selama ini terlihat ada di garis depan membela muslim Rohingya.

Di zaman semodern ini, ditengah persaingan ketat teknologi dan ekonomi antar negara, ternyata masih ada pembantaian dan pembunuhan tanpa alasan yang jelas. Apakah hanya karena mereka muslim kemudian bisa dibantai seenaknya? Apakah karena mereka muslim, kemudian darahnya menjadi kurang material? Apakah jika membunuh muslim kemudian tidak ada dampak pervasif yang akan di dapat?

Banyak sekali pertanyaan berkecamuk dibenak saya. Entah siapa yang akan menjawabnya.

Kasus Rohingya bukan hanya kasus SARA, ini kasus HAM. Bukankah HAM berarti adalah setiap manusia berhak untuk hidup? Berhak untuk memeluk agama apapun yang diyakini?

Saya muslim. Saya ikut sedih karena tak dapat berperan apapun selain mendoakan mereka. Semoga Muslim di seluruh dunia yang di dzalimi ole penguasa diberikan kekuatan. Karena saya percaya Allah maha penyayang dan pengasih. Allah tak akan memberikan cobaan diluar kemampuan mereka.

Featured post

Indonesia Tidak Ramah Lingkungan?

Well, aku nggak mau nambahin berita buruk. Aku cuma mau cerita soal kenyataan. Tentang negeri besar yang dulu berjuluk negeri agraris, neger...