Bedah Isi Buku Positive Parenting

Judul: Positive Parenting, Cara-Cara Islami Mengembangkan Karakter Positif Pada Anak Anda
Penulis: Mohammad Fauzil Adhim
Tahun: Cetakan VII, Maret 2008
Penerbit: Mizania
Tebal: 280 Halaman

Pertama kali membaca buku positive parenting karya Mohammad Fauzil Adhim, saya belum dapat memahami maksud dari buku ini secara keseluruhan. Beliau menggunakan kalimat dan diksi yang indah. Puitis. Tapi mungkin karena saya pribadi tidak suka bahasa puitis, saya jadi agak kesulitan mengerti makna dibalik bahasa yang sebenarnya sangat indah. 

Judul lengkap buku ini adalah Positive Parenting; Cara-Cara Islami Mengembangkan Karakter Positif pada Anak Anda. Cukup menarik mengingat di zaman serba digital ini agaknya mendidik karakter positif lebih sulit daripada mengajarkan baca tulis untuk anak. Dari daftar isi dapat dilihat bahwa secara garis besar buku ini membahas dua hal. Bagian pertama adalah mengenai dasar-dasar positive parenting. Bagian kedua tentang perwujudan positive parenting

Bagian pertama berisi sebelas sub bab. Tiap sub babnya tidak terlalu tebal. Sangat manis untuk dibaca. Bagian-bagian yang menjadi penekanan dari penulis dicetak lebih tebal bahkan dimuat di halaman tersendiri. Berikut sedikit ringkasan mengenai Dasar-dasar positive parenting

1. Pesan Rasullah SAW pada khutbah terakhir beliau di Mina. 
"... sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara, tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tuhan kalian satu, Bapak kalian semuanya Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah ialah yang paling taqwa. Tidak ada kelebihan orang Arab di atas bukan Arab kecuali karena taqwanya..." 

Maksud penulis buku ini adalah, jika pesan Rasulullah SAW tersebut menjadi landasan dalam pengasuhan orang tua di rumah serta di ajarkan sedemikian rupa pada anak, diharapkan anak akan memiliki karakter percaya diri yang tinggi, konsep diri yang baik, pikiran yang terbuka, berlapang dada, dan harga diri yang kukuh. 

2. Hanya tiga amal yang masih bisa diharapkan pahalanya saat kita telah meninggal kelak. 
a. Ilmu yang bermanfaat
b. Amal jariyah
c. Doa anak yang shaleh. 
Disini ada pertanyaan penulis yang sangat menohok, "sudah shalehkah kita sehingga kita berani mengharapkan doa anak yang shaleh?"

Jangan-jangan kita belum memberi teladan yang maksimal mengenai keshalihan ini. Banyak hal sederhana tapi berdampak besar yang dapat dilakukan orang tua. Penulis mencontohkan ketika membuatkan susu untuk anak, maka aduklah sungguh-sungguh sambil berdoa. Semoga tiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan kebaikan dan menyingkirkan setiap keburukan. Selain mendoakan, ada dua hal penting yang harus ditanamkan kepada anak:
a. Keinginan untuk berkontribusi pada agama. 
b. Memiliki tujuan hidup yang kuat. 

3. Membangkitkan semangat anak. Bab ini di awali dengan kisah inspiratif Gola Gong. Ketika Gola Gong kehilangan tangannya, Bapaknya mengajarinya main kelereng dengan satu tangan. Hal tersebut menumbuhkan rasa percaya diri anak dan tidak menyibukkan diri dengan kekurangan. Penulis menekankan pula pada pentingnya memberi penghargaan dan perhatian pada anak untuk menghadirkan kepercayaan diri yang kuat. Perhatian pada anak dapat diwujudkan dengan memberikan mereka kisah-kisah inspiratif. Sebuah cerita apalagi kalau kisah nyata mampu memberi lebih banyak nasehat dibanding omelan bundanya. 

4. Belajar dari masa kecil. Disini penulis membandingkan antara masa kecil beliau yang kental dengan tradisi keilmuan dengan masa kini yang banyak dilenakan oleh gadget sehingga masa-masa emas untuk belajar agama terlewat begitu saja. 

5. Membaca. Anak-anak yang terbiasa membaca buku, akan lebih baik dalam menyerap, menyaring, mengolah, dan memaknai informasi. Semakin sering membaca buku, kemampuan berpikir anak akan lebih matang dan rapi. 

6. Harapan di masa depan. Tentu kita semua berharap bahwa anak-anak kita akan mengendalikan dunia dengan tangannya dan memasrahkan hatinya hanya pada Allah. Harapan inilah yang menjadi salah satu dasar positive parenting

7. Matinya perjuangan. Di bab ini penulis menyoroti tentang generasi yang tanggap terhadap perubahan zaman tetapi lupa terhadap prinsip-prinsip perjuangan agama. Dakwah berjalan tanpa perencanaan pendidikan sementara pendidikan terus berjalan tetapi kehilangan prinsip perjuangan agama. 

8. Ajarkan jihad sejak dini. Judul babnya agak berat dan membuat sebagian orang yang alergi dengan kata jihad pasti akan mengernyit. Padahal di bab ini penulis membahas mengenai pentingnya toleransi. Santun dan baik terhadap tetangga meskipun tetangganya bukan muslim. Syaratnya, anak sudah dibekali tauhid yang kokoh dan prinsip-prinsip toleransi sesuai koridor syariat. Penulis menekankan untuk mengajarkan pemahaman mengenai jihad secara utuh. Menurut penulis, mengajarkan jihad sejak dini kepada anak berarti menumbuhkan kepada mereka harga diri dan kepercayaan diri sebagai orang yang beragama. Anak akan belajar mengenai sikap bertanggung jawab. Diharapkan anak juga akan memiliki sikap bersungguh-sungguh dalam melakukan setiap amal shaleh. 

9. Penyebaran TV. Buku ini ditulis pada tahun 2008 sehingga pada saat itu TV masih menjadi raja dalam dunia hiburan karena penyebaran internet dan android belum semasif sekarang. Pada saat itu TV bagai Tuhan karena di candu lebih daripada Allah Tuhan yang Maha Menciptakan. TV banyak berpengaruh pada hilangnya rasa empati, sedih, maupun pandangan buruk terhadap tindak kekejian. Malah sampai hari ini kita rasakan bahwa membicarakan tindakan keji yang viral adalah hal yang asyik. 

10. Banyak dari kita punya sikap tidak mau direpotkan oleh anak-anak. Beberapa sengaja mengabaikan dengan dalih bahwa kualitas lebih penting daripada banyaknya kuantitas waktu bersama anak. Tapi sebagai orangtua seharusnya kita mengevaluasi diri kita sendiri. Apakah kita sudah punya waktu berkualitas dengan anak? Jangan-jangan standar kualitas yang kita maksud berbeda dengan keinginan anak. Sikap tidak mau direpotkan ini seringkali membuat kita menenangkan anak dengan cara instan. Kasihlah anak tontonan di TV. Padahal TV ini dampak buruknya banyak sekali. Mulai dari menjadikan otak pasif hingga melumpuhkan critical thinking pada anak. 

11. Bab terakhir di dasar-dasar positive parenting ini kembali membahas tentang sikap tidak mau direpotkan. Salah satu quote yang menarik dari bab ini adalah, "kalau kita menginginkan punya dua anak saja karena tidak mau repot mengurusi mereka, kita justru akan peka terhadap setiap kerepotan sehingga apapun perilaku mereka terasa sangat merepotkan. Kita kehilangan kemampuan untuk mengasuh dengan cara yang membuat mereka matang." Semacam semesta mengamini apa yang kita pikirkan. Jadi sebagai orang tua, teruslah berpikirlah positif kepada anak-anak kita. 

Bagian kedua buku ini menuliskan tentang perwujudan positive parenting yang lebih banyak memuat teknis pelaksanaannya. Berikut beberapa poin penting yang ada di bagian ini. 

1. Orang tua perlu merangsang inisiatif anak, mendorong semangat, menunjukkan penerimaan tulus, dan memberi perhatian atas kebaikan yang dilakukan anak. 

2. Mendorong anak untuk melakukan segala aktivitasnya dengan niat meraih ridha Allah. 

3. Menanamkan semangat untuk mengejar cita-cita tetapi juga memberi kesempatan anak untuk menikmati hari libur tanpa beban akademik.

4. Jawablah pertanyaan anak seburuk apapun pertanyaannya. Berikan penghargaan atas kepercayaannya untuk bertanya pada kita. Berikan jawaban yang mengena. Sampaikan pada anak-anak untuk selalu memverifikasi hal-hal yang mereka dapat dari media. 

5. Menumbuhkan percaya diri anak. Sejak kecil tanamkan iman agar anak beramal tidak untuk dipuji orang lain. Berdasarkan pesan pada khutbah Nabi SAW yang terakhir di Mina, bahwa semua manusia itu sederajat yang membedakan mereka hanya ketaqwaannya kepada Allah SWT. Tapi siapa yang tau ukuran taqwa pada diri seseorang? Hanya Allah yang tau. Karena taqwa tidak diukur dari seberapa panjang jilbab seseorang. Taqwa juga tidak di ukur dari panjangnya jenggot seseorang. Jika pesan Nabi SAW telah terpatri dalam sanubari anak dengan rapi, maka mereka akan tumbuh dengan percaya diri. 

Penulis mengisahkan di akhir bab ini bahwa, nasehat Nabi SAW ini membuat para sahabat dulu tidak malu dan gentar saat mendatangi istana kaisar. Lidahnya tidak kelu melihat jubah-jubah kebesaran para sultan. Karena mereka selalu percaya bahwa semua manusia sederajat, yang membedakan hanya taqwanya. 

6. Bab ke enam masih membahas mengenai percaya diri. Di bab ini dirinci mengenai jenjang-jenjang percaya diri. Setidaknya ada enam tingkatan percaya diri pada manusia: 

a. Rasa percaya diri semu. Orang-orang yang memiliki rasa percaya diri hanya bila bersama benda-benda yang membuat mereka 'terangkat'. Contoh: percaya diri karena menggunakan Handphone keluaran terbaru. Menurut penulis, industri sangat berperan dalam memelihara rasa percaya diri semu ini agar produknya tetap laris. Anak yang dibesarkan dengan rasa percaya diri semu akan selalu merasa tidak mampu meski ia sangat cerdas. Bukan karena tawadhu' tetapi karena jiwanya rapuh. 

b. Percaya diri karena orang lain memiliki kekurangan dan kelemahan. Rasa percaya diri ini sangat dekat dengan kesombongan. Adakalanya malah sikap sombong ini merupakan bentuk lain dari minder. Kepada orang yang memiliki kelebihan tidak berkutik, sementara kepada orang yang lebih lemah ia akan bertepuk dada. Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini sulit memiliki rasa percaya diri yang kukuh dan malah menyibukkan diri dengan rekayasa kesan agar tampak meyakinkan. 

c. Percaya diri karena kelebihan yang dimiliki. Anak yang dibesarkan dengan cara ini bisa jadi akan kurang nyaman dengan kekurangan yang dimilikinya. 

d. Percaya diri karena dapat menerima kelebihan dan kekurangan diri. Anak yang menyadari kelebihan dan kekurangannya membuatnya tidak sombong dan rendah diri. 

e. Kuatnya percaya diri karena memandang semua manusia sama. Tak ada yang membedakan kecuali taqwanya. Kalaupun ada perbedaan suku, karakter, fisik, dsb itu adalh untuk saling mengenal sehingga melapangkan dada, meluaskan wawasan, menajamkan pikiran, menghidupkan jiwa, dan membangkitkan semangat.

f. Rasa percaya diri karena melihat pada dirinya ada amanah untuk berbuat. Bukankah kita ini adalah umat terbaik untuk menyuruh pada kebaikan, menjauhkan dari kemungkaran, dan mengajak mengimani Allah SWT?

7. Rendah diri kolektif. Hari ini, kita semua menemui bahwa banyak anak yang malu belajar agama, sementara kita malah banyak menaruh rasa hormat pada ilmu-ilmu seperti fisika, biologi, dsb. Belajar ilmu-ilmu seperti fisika, biologi, matematika bukanlah hal yang salah. Bahkan jangan lupa ada banyak ilmuwan muslim yang menjadi peletak dasar konsep-konsep ilmu tersebut. Tapi yang jadi masalah adalah ketika anak-anak merasa rendah diri 'cuma' belajar agama dihadapan para ilmuwan sains. Masalahnya anak akan kehilangan harga diri sebagai seseorang yang taat beragama. Islam tidak menghendaki hal yang demikian. Bahkan kalau bisa anak menekuni dua-duanya, sains dan agama dapat berjalan beriringan. 

Bab ini juga membahas bahwa ada perbedaan mendasar antara motivasi yang menyebabkan rendah diri kolektif dengan motivasi yang membangkitkan percaya diri. Jika motivasi itu hanya membangkitkan semangat agar tidak kalah, justru dapat memberi kesan bahwa mereka adalah orang-orang yang kalah, manusia kelas dua. Sedangkan untuk membangkitkan percaya diri, motivasi justru harus membangkitkan kesadaran tentang persamaan derajat manusia dan kesadaran sebagai manusia yang mengemban misi dalam hidup. 

8. Di bab ini penulis membahas mengenai pentingnya membentuk jiwa anak sejak kecil. Salah satu cara yang efektif untuk memengaruhi jiwa anak adalah melalui cerita. Cerita-cerita yang dibacakan sejak kecil akan membekas dalam kepribadian dan ketajaman pikiran. Mengapa membentuk jiwa anak menjadi hal penting? Karena keberhasilan menbuat sejarah besar bukan bertumpu kepada banyaknya kekayaan tetapi pada keyakinan yang kokoh dan keberanian besar. Itu semua awalnya dari jiwa yang baik. 

9.Menguatkan hafalan tanpa melemahkan kecerdasan. Di bab ini, penulis menceritakan kisah Imam Syafi'i yang hafal Al Qur'an pada umur tujuh tahun. Untuk menguatkan hafalan harus menggunakan cara yang menyenangkan, tepat, dan melibatkan emosi. Jangan sampai hafalan anak hanya berderet di otak bak nomor telepon, tapi ia tidak memahami maksudnya. Jangan fokus pada seberapa banyak hafalan seorang anak, fokuslah pada kualitasnya. Menghafal harus berawal dari pemahaman dan kecintaan.  Bab ini di akhiri dengan kutipan menarik dari Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin. 

"Hendaklah anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya, dan membuatnya jemu terhadap hidup, sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini."

10. Mengenalkan Allah kepada anak. Di bab ini penulis mengajak orang tua melakukan instropeksi. Yuk coba diingat-ingat, apakah anak kita lebih sering mendengar asma Allah dalam keadaan yang menakutkan? Jangan-jangan anak kita hanya mendengar asma Allah saat mereka melakukan kesalahan, menumpahkan makanan, atau saat kita memarahi mereka? Jika setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif, maka manusia justru cenderung ingin lari. Anak tidak akan dekat dengan Tuhannya jika rasanya tidak menggembirakan. 

Mengenalkan Allah kepada anak dapat dimulai dengan berdoa setiap memulai dan mengakhiri segala pekerjaan. Secara bertahap ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia. Tujuan pokoknya menumbuhkan kesadaran bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan harus tunduk kepada Nya. 

11. Pentingnya pemilihan buku yang tepat untuk anak. Isi buku yang dibacakan sangat mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang anak. Usia anak-anak adalah masa strategis untuk membangun pondasi kepribadian, paradigma berpikir, bersikap, dan bertindak. Pada masa ini kepekaan emosi anak akan sangat efektif untuk diasah. Oleh karena itu buku yang menarik saja tidak cukup sebagai alasan untuk memilih buku buat anak. Buku yang 'bergizi' tulisan dan ilustrasinya menjadi pilihan yang tepat untuk merangsang pikiran, perasaan, dan imajinasi anak.

12. Ajarkan menulis sejak playgroup. Jangan salah paham, mengajarkan menulis pada anak playgroup tentu dengan stimulasi dan media yang tepat. Tetap mengedepankan suasana menyenangkan dan tidak memaksa. Kenapa menulis itu penting? Sebab jika anak-anak tidak menikmati kegiatan menulis dan membaca, jangan harap mereka akan antusias mengembangkan diri dan meningkatkan keilmuannya. Jangan lupa, kerap kali yang membuat anak semangat belajar adalah antuasiasme orang tua saat mengajak mereka belajar. 

13. Membangun karakter anak membutuhkan sosok teladan yang menjadikan anak menirunya dengan bangga. Banyak tokoh muslim yang dapat dijadikan teladan untuk anak, Nabi Muhammad SAW, Umar bin Khattab, Khalid bin Walid, Umar bin Abdul Aziz, tokoh ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi, sampai raja bijak Harun Al Rasyid. 

14. Pengetahuan tidak memberi pengaruh dalam perilaku jika tidak dibarengi dengan sikap dan karakter kita. Apalagi jika pengetahuan itu tidak diyakini dan dihayati sungguh-sungguh. Penulis mencontohkan bahwa seorang dokter spesialis penyakit dalam pun bisa meninggal karena penyakit dalam yang disebabkan terlalu banyak merokok. 

Akhir kata, buku ini bagus dibaca oleh orang tua muslim yang ingin mengembangkan karakter positif pada putra putrinya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUATAN atau KEMUDAHAN?

Mengapa (harus) ke Boarding School?