Mengapa (harus) ke Boarding School?


Konsep modern islamic boarding school sebenarnya mengadopsi konsep pondok pesantren yang telah ada sejak dulu di Indonesia. Pesantren adalah tempat belajar ilmu agama yang waktunya tak terbatas jam. Siswa yang belajar di pesantren tinggal di lingkungan tersebut selama 24 jam sehari. Mereka hanya diizinkan pulang pada hari- hari libur tertentu. 

Lebih dari tiga dekade lalu, sekitar tahun 1990an, timbul kegelisahan masyarakat yang secara garis besar terdiri dari dua kubu. Kubu pertama menekankan pentingnya belajar ilmu agama tanpa belajar ilmu umum yang bersifat duniawi. Sedangkan kubu kedua menganggap belajar ilmu umum adalah hal yang sangat krusial. Dua pandangan ini akhirnya menemukan titik tengahnya dalam sebuah konsep 'boarding school'. 

Boarding school dianggap sebagai konsep sempurna untuk menengahi perbedaan pendapat. Kurikulum boarding school menyatukan antara kurikulum pesantren dan kurikulum nasional. Siswa diharapkan dapat memperoleh ilmu agama dan ilmu umum dengan seimbang. Tak hanya itu, orangtua yang menyekolahkan siswa di boarding school berharap tambahan nilai plus berupa penanaman karakter dan nilai-nilai akhlak mulia seperti kejujuran, tanggung jawab, kemandirian, kesantunan, dsb. 

Lalu, mengapa orangtua rela melepas anaknya sekolah di boarding school? 
Alasan pertama udah ada diatas. Intinya orang tua ingin pembentukan karakter dan akhlak yang baik. Alasan kedua, orang tua ingin pendidikan yang komperhensif. Di rumah, tidak semua orang tua bisa membersamai anaknya 24 jam. Ada orang tua yang sibuk mencari nafkah hingga tak sempat menemani anaknya belajar. Alasan berikutnya, orang tua ingin anaknya mendalami ilmu agama. Seperti yang kita ketahui bersama, pelajaran agama di sekolah umum non madrasah, non pesantren, dan non boarding school sangat terbatas. Seminggu taruhlah maksimal 2-4 jam pelajaran. Lalu berapa banyak materi pelajaran agama yang tak bisa tercover? Waktu yang tersedia untuk praktik agama pun sedikit. Di boarding school, agama dipelajari lebih dalam. Praktek ibadah beragama langsung dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga ingatan tentang esensi dan praktik melakukan ibadah akan lebih melekat. Diharapkan agama tak sekadar diucap dimulut, tetapi juga masuk ke hati dan diwujudkan dalam perbuatan mulia. 

Kepercayaan orangtua menjadi tanggung jawab besar untuk pengelola boarding school. Untuk apa orang tua menyekolahkan anaknya jauh ke boarding school jika tak ada nilai tambah daripada sekolah pada umumnya?Artinya, orang tua menaruh ekspektasi tinggi saat memasukkan anaknya ke sekolah berasrama ini. 

Begitu masuk ke boarding school, maka orang tua sudah tak cawe-cawe lagi pada pendidikan sehari-hari. Pendidikan anak sudah mulai ditentukan oleh bagaimana pengelola boarding school ini menetapkan visi dan misi pendidikannya. Sebagai catatan, menjadi pengelola boarding school adalah hal yang rumit. Karena kondisi anak pada saat masuk boarding school berbeda-beda tiap anak. Ada yang terbiasa diperlakukan bagai raja di rumah, ada yang memang dari kecil sudah disiplin, ada yang manja dan terlihat tak semangat belajar, dsb. Tapi tak masalah. Karena memang disitulah keunikan boarding school. Memungkinkan siswa dari berbagai kalangan, budaya, dan lingkungan berbaur menjalani hidup bersama 24 jam. Terpaksa, pelan tapi pasti mereka akan belajar bekerja sama dan tolong menolong. 

Maka, sesungguhnya ukuran pertama keberhasilan boarding school adalah, akhlak. 
Jika akhlak siswa saat lulus sama seperti saat masuk, seharusnya ada evaluasi komprehensif tentang implementasi sistem pendidikan di boarding school tersebut. 

Tetapi, tolak ukur keberhasilan sekolah itu relatif pada tujuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Sehingga akan lebih baik jika metrik kesuksesan ini didiskusikan antara sekolah dan orang tua. 


Gimana? Tertarik ke boarding school? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUATAN atau KEMUDAHAN?

Bedah Isi Buku Positive Parenting