Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Just Write It Down, Babe!

Menulis itu hal yang gampang-gampang susah. Gampang buat yang sudah terbiasa, dan sulit untuk yang jarang melakukannya. Ada yang sulit sekali menulis, bahkan sulit menuliskan perasaan dan hidupnya sendiri. Nulis caption di sosmed aja kadang mikir, harud browsing dulu. Tapi buat yang sudah terbiasa bahkan punya puluhan buku yang sudah terbit, ratusan artikel dan opini. Saya bukan kedua tipe tersebut, artinya kebiasa banget nulis juga enggak, tapi susah banget nulis juga enggak. Ada orang yang tanya, kenapa saya sering nulis meskipun ga bagus, bahasanya amburadul, kalimat antar paragraf melompat-lompat, ga banyak yang baca pula.  Buat saya menulis dan menagis itu sama. Mereka sama-sama seperti obat penenang dan pundak untuk bersandar dikala menghadapi kesulitan. Saya ga peduli seberantakan apa, segila apa, dan dibaca atau tidak. Menulis itu melegakan.  Lebih baik kita tulis dulu apa yang ada daripada mutug gara-gara kita ga bisa mengungkapkannya dalam bahasa yang bagus. At lea

Turbulensi Zaman

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU No 20 Th 2003 ttg Sisdiknas) UU tersebut sama sekali tidak menyebutkan bahwa pendidikan harus melalui bangku sekolah formal. Setiap orang bisa mendapatkan pendidikan dari pengalaman hidupnya sehari-hari asalkan memenuhi unsur:  -usaha sadar dan terencana -mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran -aktif mengembangkan potensi dirinya Zaman terus melaju dan bergerak dinamis, bahkan turbulens. Kini pendidikan formal bukan lagi hal yang utama. Banyak start up, bahkan perusahaan sekelas Google dan EY berani membuka lowongan pekerjaan untuk siapapun yang memiliki kompetensi tanpa memandang ijazah formal yang dimiliki. Kondisi ini

Excuses

Everyone makes mistakes, the only thing made it's different is the reason and excuses. Kadang alasan membuat seseorang tak bersalah. Tapi sebetulnya itu alasan atau pembenaran? Saya inget banget beberapa hal berikut yang bikin saya sekarang suka mikir sebelum ngeluarin alasan. Saya takut jangan-jangan itu cuma usaha saya aja buat membenarkan kesalahan yang saya perbuat. Kalo orang sukanya cari pembenaran, bisa jadi dia ngga pernah evaluasi dan berbenah. Alesaaan terus.. and I don't wanna be like that. 1. Kata-kata pakde saya waktu minta diambilkan tutup gelas untuk cangkir kopinya. Saya udah cari-cari tutup gelas kesana kemari tapi ngga ada. Walhasil sambil nyengir saya bilang, "Sorry pakde, ngga ada tutup gelasnya. Dulu punya banyak sih. Tapi suka keselip-selep di rak. Pada jatuh terus kebuang, abis deh" Pakde saya bilang, " oh berarti tutup gelasnya ga ada? Yaudah gapapa, gausah banyak alasan. Ga ada yaa bilang aja ga ada. Ga usah belibet." 2. Pas w

dari: Rakyat Tangguh yang Tak Suka Minta Subsidi

Sejak Rezim yang sekarang berkuasa, pencabutan subsidi terus berlangsung di berbagai bidang. Rezim ini bilang ke kita kalo uang subsidi dapat dialihkan ke pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan apalah untuk membuat kehidupan rakyat jadi lebih baik. Rakyat yang mana pak? Kemarin, gas 3 kg yang ada di rumah habis. Ibu saya cari kemana-mana ternyata warung juga mengeluh kalau sekarang gas 3 kg susah. Tadi pagi, om saya yang ada di kulonprogo 25 km jauhnya dari rumah saya pun minta tolong dicarikan gas 3 kg karena dia udah nyari kemana-mana tetep ga dapet. yang saya heran, Indonesia itu negeri dengan kekayaan yang luar biasa banyak. Emas berlimpah, cadangan minyak di perut bumi, kayu ditancapkan pun tumbuh jadi pohon, garis pantai terpanjang di dunia, tapi rakyat masih kesulitan cari gas, air bersih, bahkan harga garam naik dan impor pula. Bukannya kami ga mampu membeli dan ga punya uang. Tapi mana peran negara untuk menyejahterakan rakyatnya? Jangan semena-mena meminta

Apakah Karena Mereka Muslim?

Rohingya berduka Tak hanya rohingya, seharusnya umat muslim diseluruh dunia juga merasa luka. di tengah gegap gempita takbir hari  raya idul adha, mereka nelangsa.. harus menghadapi maut, melarikan diri ke negara tetangga manapun untuk menyelamatkan jiwa. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, dekat dengan mereka, apa yang telah dilakukan? Berkoordinasi dengan PBB, lalu? Mengutuk? Menyesalkan? Berharap pemerintah Myanmar melakukan perhatian khusus? Hanya itukah yang dilakukan pemerintah negara ini? Kira-kira berani ngga pemerintah menggambil sikap keras? Mengusir dubes Myanmar dari Indonesia, adakan KTT Luar Biasa ASEAN dengan agenda mengusir Myanmar dari ASEAN? Saya sedikit rindu dengan sikap Soekarno. Dulu, saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, Beliau dengan gagah  dan elegan keluar dari PBB. Harga dirinya sebagai pemimpin tinggi sekali. Apakah karena korbannya adalah muslim, maka negara-negara sekitar diam saja? Bahkan Amerika yang biasa ikut campur pu