Turbulensi Zaman

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU No 20 Th 2003 ttg Sisdiknas)

UU tersebut sama sekali tidak menyebutkan bahwa pendidikan harus melalui bangku sekolah formal. Setiap orang bisa mendapatkan pendidikan dari pengalaman hidupnya sehari-hari asalkan memenuhi unsur: 
-usaha sadar dan terencana
-mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
-aktif mengembangkan potensi dirinya

Zaman terus melaju dan bergerak dinamis, bahkan turbulens. Kini pendidikan formal bukan lagi hal yang utama. Banyak start up, bahkan perusahaan sekelas Google dan EY berani membuka lowongan pekerjaan untuk siapapun yang memiliki kompetensi tanpa memandang ijazah formal yang dimiliki. Kondisi ini beda jauh sama apa yang saya alami 7 tahun lalu pas daftar ke SMK swasta. 

Beberapa orang tua dan wali murid bahkan guru SMK tersebut tercengang melihat nilai saya sambil tanya, "kenapa ngga ke SMK negeri aja?" 
waktu itu saya nyengir doang. 

Buat saya, pepatah emas mau ditaruh di lumpur sekalipun tetap akan jadi emas itu berlaku. 

Dimanapun kita belajar kalo kita udah suka dan mau totalitas terhadap suatu bidang, jalan buat jadi expert itu pasti terbuka disana sini kok. Tapi kalo namanya udah kepaksa, mau ditaruh di tempat sebagus apapun tetep jelek. Eek kerbau mau ditaruh di guci berlian semahal apapun tetep jelek dan ngga wangun. 

Dunia yang saya impikan adalah kita bisa jadi apapun yang kita mau. Kalo ga bisa ngerjain matematika, tapi pinter renang, biarin aja jadi atlet renang. Tapi di dunia yang saya hadapi dulu, selembar kertas bernama ijazah sangat bertaji untuk mencari nafkah. Bahkan kalo ijazahnya ngga dari perguruan terakreditasi kadang ngga bisa dipakai. 

Saya kadang kasian liat ada orang yang harus dicap bodoh karena tak bisa matematika, padahal di usia belasan tahun, memorinya mampu menghafal 15 juz Al Qur'an. Saya trenyuh melihat anak SD yang tak bisa matematika sibuk menelan makian dan emosi orang tuanya, padahal dia sangat pintar bermain sepak bola. 

Dulu saya sedih dan ingin berteriak "Why?" Mengapa ukuran pintar dan tidaknya kita ditentukan oleh ijazah, oleh seberapa tinggi tingkat pendidikan yang kita tempuh. Seberapa banyak rumus yang kita hafal. 

But the world turns. 

Di zaman mainan anak kecil udah youtube, pendidikan formal bukan lagi jadi satu-satunya penentu arah hidup buat orang tua yang udah open  minded. Tinggal tentukan minat bakatnya kemudian dikembangkan.

Well, Welcome .. selamat datang di zaman yang turbulens ^^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUATAN atau KEMUDAHAN?

Mengapa (harus) ke Boarding School?

Bedah Isi Buku Positive Parenting