Tekanan

Sore ini saya pengen bahas soal bagaimana sebenarnya sebuah tekanan bisa memicu kita meraih prestasi. Tekanan memang bukan dorongan yang baik. 
Bisa dibilang saya sejak kecil terbentuk oleh tekanan.
Ketika saya masih SD dulu, saya lumayan tertekan oleh aturan orang tua yang mewajibkan saya memakai jilbab ketika keluar rumah. Saat itu, teman-teman saya sibuk memakai bando dan ikat rambut boneka yang lucu-lucu. Sebagai satu-satunya siswi yang berjilbab di kelas, bohong rasanya kalo saya ga ngiri dengan kondisi itu. Saya punya bando atau ikat rambut boneka. Saya punya. Malah koleksi saya lebih bagus dari teman-teman saya. Tapi saya hanya bisa memakainya di dalam rumah, tidak bisa memamerkannya ke orang lain.
Tekanan juga datang dari teman-teman yang jahil bertanya, "yak, rambutmu panjangnya seberapa?"
atau pertanyaan "yak, kenapa sih kamu pake jilbab terus kalo keluar rumah?"

Itu tekanan pertama. Tekanan kedua adalah saya selalu ngerasa iri dan berbeda saat temen-temen saya cerita soal macam-macam sinetron dan lagu yang hits di TV saat itu. Orang tua saya 'mengharamkan' TV. Jadilah saya hanya bisa bengong saat topik pembicaraan yang ada di kelas adalah TV. Tanpa TV, saya tidak berarti kuper dan kudet. Saya justru tumbuh lebih dewasa dan mengerti kondisi sosial, ekonomi, bahkan kesehatan lebih baik dari anak seusia saya waktu itu. 
Sejak SD bahkan saya sudah membaca majalah-majalah 'dewasa' seperti Ummi, Ayah-Bunda, Risalah Mujahidin, Sabili, Swara Qur'an, dan sejenisnya.

Saya ingat betul, ketika kelas 4 SD, saya bertengkar dengan teman laki-laki namanya Hadi. Ketika guru datang, saya langsung mengadukan Hadi dengan berteriak-teriak bahwa Hadi melanggar emansipasi wanita, Hadi tidak menghargai wanita, dan sejenisnya. Padahal pertengkaran itu hanya dipicu karena Hadi tidak mau mengalah saat rebutan bangku tempat duduk. 

Kelas 4 SD, saya sering protes saat guru saya menjelaskan bab yang sama berulang kali. Saya sering protes, "Ini kan sudah kemarin pak." Guru saya dengan luar biasanya tetap tersenyum dan bilang, "Kalo semua murid langsung paham seperti Mutia yaa penak."

Beranjak kelas 5 SD, saya sudah berani berdebat pada guru saya yang kebetulan beda agama. Saya mulai tau tentang gerakan politik mahasiswa bernama KAMMI. Saya juga mulai membaca tentang perjuangan para muslimah berjilbab di tahun 2000an, Bukan hanya itu, bab kekerasan di institusi pendidikan IPDN juga saya baca. Eits, secara tak sengaja, pada masa ini saya juga tahu tanda-tanda orang hamil, termasuk saya juga membaca soal virus toxo yang menyerang ibu hamil, kemudian saya juga membaca soal hamil di luar kandungan, dsb. Meski saat itu saya ga terlalu paham pada istilah-istilah tertentu.

Saat kelas 6 SD, ranah bacaan saya meluas. Saya asik saja meminjam majalah berbahasa jawa Djoko Lodhang langganan guru saya. Beberapa kali saya ditertawakan karena menanyakan istilah-istilah jawa yang saya ga tau. Meski begitu, saya gagal mengenali bentuk wayang selain gatotkaca dan punakawan, aksara jawa saya hancur, dan nilai bahasa jawa yang tak beranjak dari angka tujuh.

Seperti saya bilang tadi, meski saya tertekan karena ga punya TV, pake jilbab sendirian, tapi tekanan itu mampu mengubah saya menjadi anak SD yang lebih dewasa. Saya selalu menang debat dengan teman-teman SD saya. Saya menjadi anak yang percaya diri. Saya berhasil menyumbangkan dua piala di atas lemari kepala sekolah. Saya terkenal. 
Mungkin cerita di atas lebay ya? Tapi boleh kok kalo kalian mau ngecek ke guru-guru dan teman-teman saya dulu. 
Hingga saya kuliah pun, guru-guru SD masih mengenali saya. "Aduh mutia, udah gede. Kuliah dimana kamu sekarang?", "Waa mutia tambah cantik ya?", "Mutia udah  perawan nih, udah gadis"
dan semacamnya. 

Oke, ini tulisan tanpa tema. Maaf ya kalo ga nyambung. Ini memang curhatan dan rada bernuansa nostalgia. haha. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKUATAN atau KEMUDAHAN?

Mengapa (harus) ke Boarding School?

Bedah Isi Buku Positive Parenting